Pilkada Gubernur Dahulu, Sekarang dan Kemudian.

Oleh: Ir. Doddy Amiruddin (Anggota DPRD Sulawesi Selatan)

Dahulu di masa orde baru, pilkada gubernur dan wakil gubernur yang dilaksanakan di DPRD adalah ujung dari sebuah proses sederhana menentukan pemimpin di suatu daerah. Tidak ada tahapan pilkada yang menguras energi besar seperti sekarang ini. Gubernur dan wakil gubernur dicalonkan dan dipilih berdasarkan skenario yang dikendalikan oleh kekuatan rezim yang berkuasa melalui tiga jalur yaitu ABRI, birokrasi, dan Golkar yang disingkat jalur A, B, dan G. Kriteria tidak tertulis calon gubernur adalah orang yang mempunyai kapasitas untuk itu, dapat menjaga stabilitas, loyal dan cakap. Kriteria calon wakil gubernur adalah orang yang dapat bekerjasama dengan gubernur dan untuk situasi tertentu, dapat menjadi penyeimbang atau bahkan menggantikan gubernur jika dianggap perlu.

Seseorang yang terpilih dan dilantik menjadi gubernur akan memperoleh legitimasi dan proteksi yang kuat dari sistem kekuasaan yang ada. Dukungan publik adalah hal kesekian yang tidak mejadi penting ketika otoritas yang digenggam dijamin keampuhannya oleh kekuatan monoloyalitas militer, pegawai negeri sipil, DPRD, pengusaha dan beberapa stakeholder berpengaruh lainnya.

Sehingga dalam menjalankan roda birokrasi pemerintahan, gubernur di masa orde baru tidak akan ragu untuk mengeksekusi segala ide dan kreatifitasnya untuk membangun daerah yang dipimpinnya. Segala bentuk ketidaksetujuan bahkan penetangan dari masyarakat akan dapat diredam oleh suatu skema politik yang jarang meninggalkan riak.

Model seperti ini tidak banyak menimbulkan masalah ketika seorang gubernur adalah sosok ideal yang memang berbuat secara ikhlas sepenuhnya untuk kepentingan rakyat. Kondisi ini terbukti memungkinkan kepala daerah untuk mendapatkan kepercayaan dan dukungan dari mayoritas rakyat sehingga dapat berkosentrasi kepada visi dan misi pembangunan yang menjadi harapannya . Kebijakan yang diambil tidak rentan terhadap politisasi isu pro dan kotra.

Namun demikian, tidak dapat dipungkiri sistem politik masa lalu itu justru telah dimanfaatkan oleh sebagian besar kepala daerah untuk kepentingan pribadi, menambah harta kekayaan bagi diri maupun kelompoknya melalui praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Sedemikian parahnya sehingga pemerintahan di masa yang lalu hanya dapat dikenang oleh generasi pelanjutnya sebagai masa-masa suram yang berbeda dan tidak sebanding dengan “kondisi baik yang ada sekarang”.

Setelah rezim orde baru tumbang, kita semua memasuki masa demokratisasi yang disebut era reformasi. Tidak seperti sebelumnya, kini kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat. Setiap warga negara mendapatkan kesempatan untuk dipilih menjad kepala daerah. Banyak orang tiba-tiba ingin menjadi gubernur atau bupati/walikota. Masing masing dengan niat dan harapan yang berbeda-beda, yang hanya Tuhan atau mereka sendiri yang mengetahuinya. Belajar hanya dari sukses Obama atau SBY, mereka berani mempertaruhkan segalanya untuk mengadu nasib menjadi “orang nomor satu” dan sekonyong konyong mulai “berdandan”. Dandanan tidak sekedar merubah penampilan fisik tapi tanpa sungkan merekayasa inner beauty sebagai insan yang dapat dipertanggung jawabkan dari sisi kepribadian, moral dan spritual. Mereka kemudian berlomba-lomba untuk mendapatkan dukungan luas di tengah masyarakat dengan memanfaatkan legitimasi dari kelompok-kelompok tertentu di parpol, ormas dan berbagai komunitas lainnya . Kebutuhan logistik kampanye terpenuhi melalui pendanaan tunai atau hutang, yang pola dan caranya hanya diketahui oleh kalangan terbatas dilingkungan tim sukses.

Tuntutan perjuangan ini tidak langsung terhenti ketika berhasil terpilih dan dilantik mejadi kepala daerah. Melainkan separuh masa jabatannya akan dihabiskan untuk melunasi hutang politik yang tidak tercantum dalam buku visi dan misi sebagai calon kepala daerah. Separuh masa jabatannya lagi akan dihabiskan untuk mempersiapkan perangkat keras dan lunak menghadapi pertarungan pilkada berikutnya. Pilkada akhirnya menjadi komoditas yang proses produksinya sangat panjang dan hasil yang sangat mahal.

Dibandingkan dengan di masa orde baru, kepala daerah sekarang ini, secara berkala melakukan survei untuk mengukur tingkat popularitas dan elektibilitasnya. Mereka faham betul bahwa menjaga “reputasi baik” lebih murah dibandingkan membangun ulang kepercayaan masyarakat untuk modal pilkada berikutnya. Akibatnya, volume dan ritme kebijakan yang diambil birokrasi pemerintahan mengalun sesuai dengan hasil survei. Tidak ada lagi pemimpin di negeri ini yang yang berani untuk tidak populer melakukan terobosan pembangunan yang substansial dan mempunyai dampak positif jangka panjang. Pembangunan cenderung diarahkan pada proyek-proyek fisik yang dapat terlihat dalam satu atau dua putaran APBD.

Wacana pemilihan gubernur dan wakil gubernur yang dikembalikan ke DPRD telah bergulir. Jika undang-undangnya berhasil diloloskan, kita semua akan dihadapkan pada babakan baru dari sebuah proses pilkada di negeri ini. Pemilihan pasangan gubernur dan wakil gubernur di DPRD, tidak lagi dikendalikan oleh satu atau segelintir kekuatan. Beberapa skenario pemenangan akan mengemuka hasil daril kesepakatan atau komitmen yang terbangun diantara para anggota DPRD. Tekanan publik dan konstituen, akan tumbuh dan diarahkan kepada partai dan setiap anggotanya di  dewan untuk mencalonkan dan memilih salah satu pasangan kandidat yang dianggap pas. Lantas apa yang akan terjadi? Apakah faktor kelayakan, kepatutan, dedikasi, rekam jejak dan sebagainya menjadi pertimbangan dalam pemilihan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur? Apakah setiap anggota DPRD akan memilih sesuai petunjuk partainya atau memilih sesuai kehendak dirinya berdasarkan standar dan hitungannya sendiri. Semua kemungkinan dapat terjadi, manusia senantiasa membangun realita baru dan melakukan pergeseran paradigma . Dalam buku The Art of Possibilty yang ditulis Stones Zander dijelaskan bahwa manusia tidak perlu memenangkan sesuatu tapi bagaimana berkontribusi terhadap kemenangan tersebut. Dari semuanya ini, kita belum dapat menarik kesimpulan akan apa yang terjadi jika pemilihan pasangan gubernur dan wakil gubernur dikembalikan ke DPRD.

Melalui tulisan ini, secara garis besar Insya Allah kita dapat menarik pemahaman terhadap proses dan konsekuesi tiga skema pilkada gubernur dan wakil gubernur di negeri ini, yaitu pemilihan di DPRD di masa order baru, pemilihan langsung oleh rakyat di era reformasi dan pemilihan di DPRD di era reformasi. Yang pertama, pemilihan di DPRD pada sistem politik yang di masa orde baru, menghasilkan pemimpin yang terlampau kuat dan dapat bertidak tanpa batas. Namun demikian, masih ada sisi positif yang dapat dipelajari dari sistem tersebut. Yang kedua, pemilihan langsung oleh rakyat sekarang ini masih menimbulkan masalah selama mindset calon kepala daerah dan rakyat pemilik suara masih belum pas untuk sebuah pemilihan langsung oleh rakyat. Di satu sisi kepala daerah terpilih akan membawa beban hidden agenda ke dalam masa kepemimpinannya dan di sisi yang lainnya rakyat yang mudah percaya akan mudah kecewa pula karena menaruh harapan yang terlampau besar terhadap janji-janji kepala daerahnya. Dan yang terakhir, pemilihan di DPRD tidak menjamin untuk memberikan solusi total untuk menjawab kekurangan kedua cara tersebut sebelumnya diatas. Alhasil, mungkin hanya waktu yang dapat memberi jawaban dan memberikan arah demi kebaikan negeri kita ini.

Tinggalkan komentar